Puisi Hadiwinata
1/
yang gegas dalam tapak
tapak cemas di saban jalan
itulah aku, lelaki yang bergejolak
lelaki yang terombang-ambing
di samudera kehidupan
balik kanan, kuputar arah perjalanan
sambangi sesosok petapa di dalam diri
yang dari tahun ke tahun jadi
penguasa di ruang sana
: membincangkan hal-hal yang tak
rangkum selesai bertahun lalu
aku berkelana di dalam jasadku sendiri
seumpama butiran nasi
yang ditanak mamak di tubuh fajar
dan kutelan panas-panas sebelum berangkat
yang akan hasilkan peluh demi beras
untuk ditanak kembali di subuh hari
2/
telah kupanjat tebing dagu yang terjal
bertumpu pada setiap benjolan jerawat
tapi di rongga mulut, gigi-gigi tengah bekerja
maka melompat-lompatlah aku
di lidah licin penuh liur
meliuk-liuk agar tak tercabik, terpotong-potong
lantas dikunyah jadi remah
kulanjutkan perjalanan susuri kerongkongan
remang-remang dan kemudian semakin jelas
kudengar jeritan putus asa serupa lolong anjing
jalanan yang didepak dan tak disukai siapa saja
tawa kekeh dan lengguh yang puas
erangan ke teriakan ke suara hura-hura
yang lupa pada hari esok
sebelum terdorong oleh peristaltik menuju lambung
ketika kutonjok beberapa otot
berlari-lari di kamar lambung
agar tak diremas dan diubah bentuk oleh enzim
kulihat orang-orang mengangkang, tanpa pakaian
berpasang-pasang mandi bersama dengan air yang entah
melintasi pankreas dan empedu, darah-darah mengalir dan menetes
dari banyak mata, bibir, tangan dan telinga, juga kaki dan kelamin-kelamin
yang menggelantung di langit-langit
terhimpun tanya sebesar gunung
“ruang macam apakah ini?”
di goa usus, yang panjangnya begitu panjang
ada lelaki yang berdoa sambil menangis
sampai tersungkur dan kepalanya terjerembab
di daging lembab, berlumut, dan licin
di atas kepalanya, kulihat doa itu tak terangkai
doa itu adalah kata-kata yang berhamburan
dan berceceran untuk jatuh ke lubang rektum
(lubang penyesalan yang paling dalam)
“apa kau bersemedi di dasar lubang feses
dan menghilang lewat anus?”
dalam diam aku terus mencari sosok itu
dan mataku mendapatinya
sedang nangkring di urat hati
mengendap jadi racun bertahun-tahun
3/
di balik pinggang, telah kuselipkan belati tuhan
lantas kepada siapakah ia akan dihunjamkan?
setelah kulempar sekadar salam
kuamati lekat dirinya
yang meramu resah akan masa depan
dan sesal pada hari silam
segera kuraih tangannya
“lurus ke depan, mari melompat!”
kami daki tangga nadi ke singgasana
tuhan yang telah pudar di dalam ingatan
digerus karbohidrat dan lemak dan protein haram
yang kutelan bertahun lalu
: menyoal hal-hal yang tak selesai
yang gegaskan tapak dalam cemas
akan masa depan dan sesal yang kobar
pada hari silam
2017
*Puisi ini dipublikasikan di Kumpulan Sajak Penyair ASEAN, IAIN Purwokerto, 2018.